Batak Nusantara
By. Julkifli Marbun
Batak Nusantara merupakan sejarah kilas balik orang-orang Batak di Nusantara. Dimulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Ada banyak versi mengenai sejarah Aceh sebelum abad-abad masehi. Salah satunya adalah mengenai keberadaan komunitas Batak di Aceh pada awal-awal tarikh masehi. Lihat buku "Java", II oleh Veth, hal. 16.
1000 SM-600 M
Sebelumnya untuk diketahui pada zaman ini, telah berkembang kerajaan Hatorusan (Disebut juga kerajaan Nai Marata didirikan oleh Raja Uti putera Tatea Bulan di Sianjur Mula-mula lalu pindah ke Barus/Singkil) di pesisir tanah Batak yang wilayahnya mencakup sebagian daerah Aceh sekarang ini. Sementara itu kerajaan Batak lainnya dipimpin oleh Dinasti Sorimangaraja dari marga Sagala tetap eksis di Sianjur Mula-mula sebelum dikudeta oleh marga Simanullang di abad pertengahan.
Beberapa abad kemudian, di pesisir juga eksis kerajaan Batak lainnya yang didirikan oleh Alang Pardosi dari marga Pohan keturunan Sumba. Berikut Dinasti-dinastinya:
Dinasti Sagala
1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI, pindah ke Sipirok
4. Sorimangaraja XCII-C di Sipirok
5. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala atas ajakan Raja Gadumbang.
Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist.
Dinasti Hatorusan (Kerajaan Nai Marata)
1. Raja Uti Putera Tatea Bulan alia Raja Biak-biak alias Raja Miok-miok alias Raja Gumellnggelleng
2. Datu Pejel gelar Raja Uti II
3. Ratu Pejel III
4. Borsak Maruhum.
5. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
6. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
7. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.
*Ada gap yang panjang
8. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
9. Sultan Yusuf Pasaribu
10. Sultan Adil Pasaribu
11. Tuanku Sultan Pasaribu
12. Sultan Raja Kecil Pasaribu
13. Sultan Emas Pasaribu
14. Sultan Kesyari Pasaribu
15. Sultan Main Alam Pasaribu
16. Sultan Perhimpunan Pasaribu
17. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.
Dinasti Pardosi (Pohan)
1. Raja Kesaktian Pohan (di Toba, Balige)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi, pertama masuk Islam.
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)
Kembali ke Aceh, nama Aceh sendiri adalah sebuah nama yang dibentuk dari gabungan beberapa kerajaan di provinsi Aceh yang sekarang.
Menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut "ureueng Mante". Sejauh mana kebenaran riwayat ini masih dapat diperdebatkan. Suku Mante merupakan bagian dari bangsa Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan gunung Ophir di semenanjung tanah Melayu. Logan menyebut dalam "The Indian Archipelago", jilik I, nama Mantira.
Invasi pertama yang dialami para Mante dilakukan oleh orang-orang Batak yang mendesak mereka dari daerah-daerah pantai Aceh ini ke pedalaman XII mukim dan dari pantai barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Besar kemungkinan orang-orang Mante selama beberapa tahun telah didominasi oleh orang-orang Batak. Akulturasi kedua suku ini membentuk Aceh.
Untuk menguatkan anggapan ini baik dijelaskan, bahwa di dalam adat-adat Batak masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata Batak yang dijumpai kembali dalam bahasa Aceh walaupun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak, kecuali jika orang-orang Mante mau dianggap ada hubungannya dengan orang-orang Batak.
Abad ke1-3 M
Terdapat dua pendapat mengenai kedatangan unsur Hindu ini. Pertama dibawa langsung oleh orang India melalui Barus dan pelabuhan-pelabuhan lain Aceh sejak abad ke 1-3 M dan yang kedua adalah melalui ekspansi Sriwijaya. Diketahui ekspansi Sriwijaya terjadi di abad ke-10.
600 M
Kerajaan Batak yang baru, Kerajaan Nagur yang memisahkan diri dari Dinasti Sorimangaraja, berpusat di Simalungun melakukan ekspansi sampai ke pegunungan "barisan" Aceh yang membentuk komunitas Gayo dan Alas.
Dikatakan juga bahwa kerajaan "Mante-Batak" itu pada gilirannya ditaklukkan pula oleh orang-orang Hindu. Diperkirakan di masa inilah nilai-nilai Hindu diserap oleh kerajaan ini.
Besar kemungkinan juga bahwa imigrasi Hindu dimulai dari pantai utara dan timur Aceh, terus ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie bahkan mungkin juga dari Pasai. Buktinya ialah inskripsi-inskripsi tua yang dijumpai di Kuta Batee, enam jam perjalanan dari Blang Me di pantai timur laut Aceh. Disebut juga Kuta Karang, kini Kec. Samudra, Geudaong-Aceh Utara. Peninggalan purbakala ini dari abad ke-12 M.
Dikatakan juga bahwa penduduk pribumi Aceh (Mante-Batak) berhasil menaklukkan orang-orang Hindu dan menyuruh mereka membayar upeti di Kerajaan Hindu Aceh.
Selain batu-batu nisan dan makam-makan bertulisan yang dijumpai di Tanoh Abee dan Reueng-reueng di pedalamn XII mukim, dalam cerita-cerita Aceh disebut-sebut juga mengenai seorang raja Hindu di Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya meluas sampai ke laut seperti terbukti dari nama-nama Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dan Indrapatra kira-kira di Lam Nga dekat dengan Kuala Gigieng.
Kerajaan Hindu Aceh tersebut tidak terbatas sampai daerah Aceh Besar saja, tetapi meluas sampai pantai timur laut Aceh, termasuk daerah Pasai, Seumatang Dora dekat Kuala Batee Keureunda di Pidie. Pada masa itu kerajaan tersebut telah dikenal dengan nama Pulau Seroja, yaitu pulai teratai, sementara Krueng Aceh dinamakan Krueng Ceudaih, sungai indah. Barulah pada masa-masa terakhir singai itu dinamakan Kueng Aceh; sebabnya adalah sebagai berikut:
"Sebuah kapal Gujarat dari Hindia Muka datang ke Krueng Ceudaih untuk berniaga. Anak-anak buah kapal itu berada di darat dalam perjalanan ke Gampong Pande. Di tengah perjalanan mereka ditimpa hujan lebat lalu berteduh di bawah sebatang kayu. Melihat daunnya yang rindang, semua mereka dengan sukacita berseru: Aca! Aca! Aca! Artinya indah, indah, indah yang kemudian berubah menjadi Aceh". Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat pohon itu bernama 'bak si aceh-aceh'. Lihat Atjehch Woordenboek, I. 1934, hal. 92.
Abad 8-9
Kesultanan Perlak berdiri.
1100-1250
Berdirinya Kerajaan Aru Sipamutung. Kerajaan Hindu Rajendrasola di Tanah Batak. Peninggalannnya adalah Biara Sipamutung.
Abad ke 10-14 M
Kesultanan Daya, antara tahun 1128-1131 M, dibentuk oleh Laksamana Abdul Kamil dengan dukungan dinasti Fatimiyah dari Mesir yang pemerintahannya sampai ke kesultanan Bandar Kalipah.
Kerajaan Nagur di tanah Batak Simalungun dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu yang berdiri pada tahun 1200-1508 M. Di Bekas kerajan tersebut di tanah Gayo berdiri kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Lingga, Lamuri dan Pasai (1200-1285).
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Batak (Lingga)
1. Raja Lingga I di Gayo punya anak-anak sebagai berikut:
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.
Dinasti Marah Silu (Batak Gayo) di Samudera Pasai sebagai berikut:
1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)
2. Sultan al-Abidin (1297-1320)
3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)
5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)
6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)
7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)
8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955
Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.
Sementara itu, putra Marah Silu yang lain mendirikan Kesultanan Aru Barumun yang berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Sungai Tamiang merupakan tapal batas perbatasan antara Kesultanan Samudera Pssai dengan Kesultanan Aru Barumun.
Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Aru Barumun adalah sebagai berikut:
1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.
1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)
2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)
3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)
4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)
5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)
6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)
7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)
8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)
9. Sultan Abdul Fadhal (1687)
10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)
11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)
12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)
13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)
14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)
15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)
16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)
17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)
18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)
19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)
20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)
21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)
22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" (Kebumen?) di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:
1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)
2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)
3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)
4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)
5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)
6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)
7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)
8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)
9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)
10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)
11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)
12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)
13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)
14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)
15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)
16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)
17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)
18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)
19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)
Dikisahkan juga bahwa Kesultanan Lamuri yang didirikan oleh Meurah Johan diserang Majapahit tahun 1365.
Abad 15-16
Abad 15, Munawwar Syah, Sultan yang sedang berkuasa di Lamuri, memindahkan ibukota kerajaannya ke Mahkota Alam dengan alasan persaingan politik dengan Pidie. Kehadiran Lamuri di Mahkota Alam menjadikan 'balance of power' di daerah tersebut menjadi tidak seimbang dengan kerajaan Aceh lainnya yakni Dar al-Kamal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.
Lamuri dan Dar al-Kamal menjadi dua kerajaan yang saling bersaing. Hal ini menyebabkan Munawwar Shah untuk berpikir melakukan maneuver politik dengan menawarkan perkawinan politik antara anaknya dengan puteri Sultan Inayah Shah.
Ketika Inayah Shah menerima rencanan tersebut, rombongan Munawwar Shah diam-diam membawa senjata dan menyerang Dar al-Kamal. Munawwar Shah berhasil dan kedua kerajaan ini disatukan kembali menjadi Kesultanan Aceh Dar al-Salam dengan pimpinan Sultan Shams Shah anak dari Munawwar Shah.
Kesultanan ini juga meluas dengan ekspansi ke Kesultanan Samudera Pasai yang telah melemah dihantam Majapahit dan sampai ke daerah Bengkulu melewati Minangkabau.
Walaupun begitu, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya yang berperan penting dalam pembentukan kesultanan Aceh adalah kesultanan Pidie. Pada waktu itu wilayah kesultanan ini meliputi Aceh Besar. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan sultan yang pertama masuk Islam (1507-1522). Dia digantikan oleh puteranya Sultan Salahuddin (1522-1530) yang membina kekuatan Aceh dalam arti yang sesungguhnya. Lihat. Veth, Atchin en Zijne betrekkingen tot Nederland, 1873 hal. 28.
1511 M
Pada tahun 1511, keturunan Raja Lingga di Gayo, Raja Lingga XIII, diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Kesultanan Aceh atau Amirul Harb, saat mengakuisisi Kesultanan Pasai dan Kesultanan Aru yang sudah dijajah Portugis.
Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Raja Lingga XIII diamanatkan untuk membangun benteng pertahanan, dengan membangun sebuah pulau di selat Malaka, dari amukan Portugis. Pulau tersebut dikenal dengan pulau Lingga.
Keturunan Lingga, kemudian mendirikan kesultanan Lingga di Gayo, Karo dan daerah Riau dan Kepulauannya.
Satu lagi legende dalam budaya Batak Gayo adalah mengenai Sosok Raja Bukit. Dalam berbagai versi sejarah, keberadaan Raja Bukit ini sangat masyhur namun penuh dengan misteri. Raja Bukit dikisahkan adalah orang yang dapat menaklukkan Gajah Putih. Gajah Putih sendiri dalam budaya Batak Toba merupakan hewan suci dari Raja Uti, Kerajaan Batak Pesisir Katorusan.
Keberadaan Raja Bukit pernah didokumentasikan oleh penulis Barat saat keberadaanya yang mendominasi peta perpolitikan di Kesultanan Barus, Kesultanan Batak di pesisir barat Sumatera Utara.
Dikatakan bahwa ada dua pemimpin yang berasal dari luar Kesultanan Barus yang ikut ambil bagian dalam pertikaian politik di Barus, khususnya dalam melawan monopoli ekonomi VOC, Inggris dan Eropa lainnya. Mereka adalah Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit. Lihat Reber, "Private Trade of The British in West Sumatera 1735-1770" (Ph.D Dissertation, University of Hull, 1977), Appendix XII p. 300-302.
Dalam kisah-kisah Batak diketahui bahwa Raja Bukit ini merupakan tokoh Batak yang sangat berpengaruh pada eranya yang banyak berkecimpung dalam pembangunan masyarakat Batak secara sosial, adat dan ekonomi mulai dari Aceh, Pesisir, Asahan dan lain sebagainya.
Namun, keterangan mengenai siapa sebenarnya Raja Bukit tersebut adalah simpang siur. Orang Gayo percaya bahwa Raja Bukit sebenarnya bernama Saidah dalam versi JCJ Kempess, Sengeda dalam versi Muda Kala dan Junus Djamil.
Kempess mengatakan bahwa Raja Bukit merupakan orang yang datang dari luar Gayo, tepatnya bagian selatan. Ada yang mengatakan dari Tiku, Minang. Alkisah ada tiga orang datang dari daerah tersebut. Seorang di antara mereka bertuah dan diangkat menjadi Raja Lumut. Seorang lagi pindah ke Samarkilang dan ternyata dibunuh oleh Raja di Lingga. Setelah terbongkar pembunuhan tersebut. Sultan Aceh yang saat itu induk kerajaan mini ini, memecat Raja tersebut dan mengangkat seorang yang datang tersebut menjadi Raja Bukit pertama dan seorang lagi menjadi Raja Petiamang. Nama dari Raja Bukit tersebut adalah Saidah.
Kisah lain adalah Sengeda yang masih berasal dari keluarga Lingga. Dan Banyak kisah lain mengenai seluk-beluk Raja Bukit tersebut. Dalam sejarah Batak, khusunya Sisingamangaraja dinyatakan bahwa Raja Bukit yang mashur dalam hubungan diplomasi, ekonomi dan hubungan internasional dalam menggalang dukungan melawan penjajah Eropa adalah Sisingamangaraja VIII alias Ompu Sotaronggal yang dikenal dengan sebutannya Raja Bukit yang hidupnya diperkirakan pada tahun 1700-an.
Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara sendiri didirikan oleh Mahkuta alias Manghuntal dari marga Sinambela, setelah mendapat transfer kedaulatan dari Dinasi Uti (Hatorusan)
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Keturunan Mahkuta alias Manghuntal lainnya melalui anaknya Si Raja Hita di tanah Karo mendirikan kota Medan.
Dinasti Sisingamangaraja I di Medan.
1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"
1508
Kerajaan Haru Wampu yang menghancurkan Kerajaan Nagur dikuasasi oleh Kesultanan Aceh pada pemerintahan Sultan Ali Muhayyat Syah. Pada tahun 1853 daerah, yang penduduknya orang-orang Batak Karo, ini dibentuk menjadi Kesultanan Langkat, Kesultanan bawahan Aceh oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah, sultan yang ke-30 Aceh.
1508
Seorang Karo yang menjadi pasukan Aceh bernama Manang Sukka menjadi Sultan Haru Delitua (Kesultanan Delitua/Deli) dengan gelar Sultan Makmun al-Rasyid. Istrinya adalah Putri Hijau, saudari perempuan dari Sultan Ali Muhayyat Syah.
Secara umum, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur Batak datang ke Aceh melalui dua gelombang. Gelombang pertama adalah era pra-Hindu yakni asimilasi Batak-Mante, unsur inti dari Kesultanan Aceh dan gelombang kedua adalah pra-Islam dan paska Hindu-Buddha yakni melalui kerajaan Nagur di tanah Gayo dan Alas, unsur penting dari Kesultanan Samudera Pasai.
1512-1523
Kesultanan Aru Barumun jatuh ke tangan Kesultanan Aceh. Setelah sebelumnya Kesultanan Samudera Pasai dikuasai oleh Laksamana Tuanku Ibrahim Syah, saudara kandung Sultan Ali Muhayyat Syah, sultan di Kesultanan Aceh Dar al-Salam.
1530-1552
Di Bawah pemerintahan Alauddin al-Kahhar (1530-1552) dilakukan pembagain klasifikasi rakyat menurut suku dan asal usulnya.
Orang-orang Mante-Batak asli merupakan sukee lhee reutoih (suku tiga ratus), orang-orang India kaom imeum peuet (kaum imam empat). Sedang para imigran dinamakan kaum tok batee (kaum yang mencukupi batu). Terakhir sekali dibentuklah kaom ja sandang (kaum penyandang).
Para imigran Hindu, yang memang terdiri dari empat kasta, tadinya tergolong dalam kaum empat yang berdiam di tanah Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga. Mereka akhirnya menganut agama Islam dengan pemimpin kelompok yang bergelar imeum (imam).
1802-1816
Fakhruddin Harahap merebut bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dan memimpin penduduk yang kebanyakan marga Harahap dalam sebuah kerajaan dengan gelar Baginda Soripada. Kerajaan ini tunduk kepada kepemimpinan Kerajaan Pagarruyung.
1805-1819
Sultan Alauddin Johar Syah, sultan yang memimpin di Aceh, mengirim Laksamana Sulaiman Nanggroyi ke Labuhanbilik di Aru Barumun. Angkatan Laut Aceh siaga di sepanjang sungai Barumun beserta pasukar marinir di Kotapinang Lama akibat bangkitnya kekuatan Padri di Minang.
1816-1820
Bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dikuasasi oleh Tuanku Tambusai, dengan ibukotanya di Sunggam. Kekuasaan Baginda Soripada dan Pasukan Aceh dihalau. Tuanku Tambusai sendiri adalah marga Harahap.
1819
Fakih Amiruddin (Lontung) memerintah di Tanah Batak selama dua tahun dengan ibukota Siborong-borong.
1867-1884
Pertentangan politik antara Raja-raja Siopat Pusoran di Silindung dengan Sisingamangaraja XII meruncing tajam. Khusunya pertentangan antara Raja Pontas Lumban Tobing dengan Sisingamangaraja XII. Pendeta Nomensen berada di pihak Raja Pontas. Belanda kemudian ikut campur dengan mendukung Nomensen dan Raja Pontas.
Pertentangan antara pihak Siopat Pusoran dengan pihak Sisingamangaraja sudah mengakar dari persaingan monopoli dagang kemenyan. Raja-raja Siopat Pusoran selalu ingin menguasai jalur perdagangan Silindung dari kekuasaan Sisingamangaraja.
Raja-raja Siopat Pusoran juga yang tidak setuju atas pengangkatan Sisingamangaraja XI, pengganti ayahnya yang tewas dalam perang dengan pihak Fakih Amiruddin beserta pasukan Padrinya. Bagi mereka, keturunan Sisingamangaraja (XI-XII) tidak diakui.
1873-1907
Sebuah 'master plan' perang gerilya antara Belanda melawan pasukan gabungan Aceh-Batak, dibuat antara Sisingamangaraja XI dengan Teku Nangta Sati, panglima Aceh digariskan sebagai berikut:
1. Sultan Ali Muhammad Syah, melakukan perlawanan dari Aceh. Dia kemudian meninggalkan istana di Kutaraja yang terbakar oleh artileri Belanda dan mati syahid dalam gerilyan di hutan Tanung
2. Teku Lamnga, menantu dari Teku Nangta Sati, menggempur posisi Belanda. Dia kemudian gugur dalam tugas ini.
3. Teku Umar, menantu dari Teku Nangta Sati, pasukan bertahan dan akhirnya gugur sebagai pahlawan
4. Sisingamangaraja XII, putera Sisingamangaraja XI yang meninggal karena kolera, bertahan di tanah Batak dan akhirnya gugur juga.
1820-1947
Berdirinya Kerajaan Kotapinang di bagian hilir Kesultanan Aru Barumun yang didirikan oleh Alamsyah Dasopang, salah satu panglima Padri.
Zulkarnaen Aritonang menjadi Yangdipertuan Raja Merbau. Zulkarnaen sendiri merupakan mantan pasukan Padri.
Tuanku Asahan alias Mansur Marpaung menjadi Sultan di Kesultanan Asahan paska dominasi Aceh.
Mengenai nama Mante di silsilah marga Batak terdapat sebuah marga yang komunitasnya sekarang banyak bermukim di beberapa daerah Aceh dan khususnya daerah perbatasan dengan Sumatera Utara. Nama marga itu adalah Munte.
Klan orang Gayo yang dominan adalah Lingga, Munte, Cebero, Tebe (Toba) dan Melala. Sementara Kejurun di Gayo adalah Kejurun Bukit yang dipimpin keturunan Raja Bukit, Kejurun Cik Bebesen yang berisi keturunan kisah Batak 27, Kejurun Lingga yang dipimpin oleh keturunan Raja Lingga dll.
By. Julkifli Marbun
Batak Nusantara merupakan sejarah kilas balik orang-orang Batak di Nusantara. Dimulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Ada banyak versi mengenai sejarah Aceh sebelum abad-abad masehi. Salah satunya adalah mengenai keberadaan komunitas Batak di Aceh pada awal-awal tarikh masehi. Lihat buku "Java", II oleh Veth, hal. 16.
1000 SM-600 M
Sebelumnya untuk diketahui pada zaman ini, telah berkembang kerajaan Hatorusan (Disebut juga kerajaan Nai Marata didirikan oleh Raja Uti putera Tatea Bulan di Sianjur Mula-mula lalu pindah ke Barus/Singkil) di pesisir tanah Batak yang wilayahnya mencakup sebagian daerah Aceh sekarang ini. Sementara itu kerajaan Batak lainnya dipimpin oleh Dinasti Sorimangaraja dari marga Sagala tetap eksis di Sianjur Mula-mula sebelum dikudeta oleh marga Simanullang di abad pertengahan.
Beberapa abad kemudian, di pesisir juga eksis kerajaan Batak lainnya yang didirikan oleh Alang Pardosi dari marga Pohan keturunan Sumba. Berikut Dinasti-dinastinya:
Dinasti Sagala
1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI, pindah ke Sipirok
4. Sorimangaraja XCII-C di Sipirok
5. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Syarif Sagala atas ajakan Raja Gadumbang.
Dua orang saudara Syarif Sagala yakni; Jamaluddin Sagala dan Bakhtiar Sagala kembali menganut agama tradisional Batak. Orang-orang marga Sagala yang kembali menganut agama tradisional Batak tersebut akhirnya dikristenkan oleh Pendeta Gerrit van Asselt menjadi penganut protestan kalvinist.
Dinasti Hatorusan (Kerajaan Nai Marata)
1. Raja Uti Putera Tatea Bulan alia Raja Biak-biak alias Raja Miok-miok alias Raja Gumellnggelleng
2. Datu Pejel gelar Raja Uti II
3. Ratu Pejel III
4. Borsak Maruhum.
5. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
6. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
7. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.
*Ada gap yang panjang
8. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
9. Sultan Yusuf Pasaribu
10. Sultan Adil Pasaribu
11. Tuanku Sultan Pasaribu
12. Sultan Raja Kecil Pasaribu
13. Sultan Emas Pasaribu
14. Sultan Kesyari Pasaribu
15. Sultan Main Alam Pasaribu
16. Sultan Perhimpunan Pasaribu
17. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk.
Dinasti Pardosi (Pohan)
1. Raja Kesaktian Pohan (di Toba, Balige)
2. Alang Pardosi pindah ke Rambe dan mendirikan istana di Gotting, Tukka
3. Pucaro Duan Pardosi di Tukka
4. Guru Marsakot Pardosi di Lobu Tua
5. Raja Tutung Pardosi di Tukka, berselisih dengan Raja Rambe di Pakkat.
6. Tuan Namora Raja Pardosi
Ada gap yang lama, beberapa raja difase ini tidak terdokumentasi
7. Raja Tua Pardosi
8. Raja Kadir Pardosi, pertama masuk Islam.
9. Raja Mualif Pardosi
10. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
11. Sultan Marah Sifat Pardosi
12. Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi (1054 H)
13. Tuanku Raja Kecil Pardosi
14. Sultan Daeng Pardosi
15. Sultan Marah Tulang Pardosi
16. Sultan Munawar Syah Pardosi
17. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
18. Sultan Baginda Raja Adil Pardosi (1213 H)
19. Sultan Sailan Pardosi (1241 H )
20. Sultan Limba Tua Pardosi
21. Sultan Ma’in Intan Pardosi
22. Sultan Agama yang bernama Sultan Subum Pardosi
23. Sultan Marah Tulang yang bernama Sultan Nangu Pardosi (1270 H)
Kembali ke Aceh, nama Aceh sendiri adalah sebuah nama yang dibentuk dari gabungan beberapa kerajaan di provinsi Aceh yang sekarang.
Menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut "ureueng Mante". Sejauh mana kebenaran riwayat ini masih dapat diperdebatkan. Suku Mante merupakan bagian dari bangsa Mantra yang mendiami daerah antara Selangor dan gunung Ophir di semenanjung tanah Melayu. Logan menyebut dalam "The Indian Archipelago", jilik I, nama Mantira.
Invasi pertama yang dialami para Mante dilakukan oleh orang-orang Batak yang mendesak mereka dari daerah-daerah pantai Aceh ini ke pedalaman XII mukim dan dari pantai barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Besar kemungkinan orang-orang Mante selama beberapa tahun telah didominasi oleh orang-orang Batak. Akulturasi kedua suku ini membentuk Aceh.
Untuk menguatkan anggapan ini baik dijelaskan, bahwa di dalam adat-adat Batak masih terdapat unsur-unsur dan kata-kata Batak yang dijumpai kembali dalam bahasa Aceh walaupun dengan ucapan yang telah berubah di samping unsur-unsur formatif bahasa Batak, kecuali jika orang-orang Mante mau dianggap ada hubungannya dengan orang-orang Batak.
Abad ke1-3 M
Terdapat dua pendapat mengenai kedatangan unsur Hindu ini. Pertama dibawa langsung oleh orang India melalui Barus dan pelabuhan-pelabuhan lain Aceh sejak abad ke 1-3 M dan yang kedua adalah melalui ekspansi Sriwijaya. Diketahui ekspansi Sriwijaya terjadi di abad ke-10.
600 M
Kerajaan Batak yang baru, Kerajaan Nagur yang memisahkan diri dari Dinasti Sorimangaraja, berpusat di Simalungun melakukan ekspansi sampai ke pegunungan "barisan" Aceh yang membentuk komunitas Gayo dan Alas.
Dikatakan juga bahwa kerajaan "Mante-Batak" itu pada gilirannya ditaklukkan pula oleh orang-orang Hindu. Diperkirakan di masa inilah nilai-nilai Hindu diserap oleh kerajaan ini.
Besar kemungkinan juga bahwa imigrasi Hindu dimulai dari pantai utara dan timur Aceh, terus ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie bahkan mungkin juga dari Pasai. Buktinya ialah inskripsi-inskripsi tua yang dijumpai di Kuta Batee, enam jam perjalanan dari Blang Me di pantai timur laut Aceh. Disebut juga Kuta Karang, kini Kec. Samudra, Geudaong-Aceh Utara. Peninggalan purbakala ini dari abad ke-12 M.
Dikatakan juga bahwa penduduk pribumi Aceh (Mante-Batak) berhasil menaklukkan orang-orang Hindu dan menyuruh mereka membayar upeti di Kerajaan Hindu Aceh.
Selain batu-batu nisan dan makam-makan bertulisan yang dijumpai di Tanoh Abee dan Reueng-reueng di pedalamn XII mukim, dalam cerita-cerita Aceh disebut-sebut juga mengenai seorang raja Hindu di Indrapuri bernama Rawana yang kerajaannya meluas sampai ke laut seperti terbukti dari nama-nama Indrapurwa di Kuala Neujid atau Pancu dan Indrapatra kira-kira di Lam Nga dekat dengan Kuala Gigieng.
Kerajaan Hindu Aceh tersebut tidak terbatas sampai daerah Aceh Besar saja, tetapi meluas sampai pantai timur laut Aceh, termasuk daerah Pasai, Seumatang Dora dekat Kuala Batee Keureunda di Pidie. Pada masa itu kerajaan tersebut telah dikenal dengan nama Pulau Seroja, yaitu pulai teratai, sementara Krueng Aceh dinamakan Krueng Ceudaih, sungai indah. Barulah pada masa-masa terakhir singai itu dinamakan Kueng Aceh; sebabnya adalah sebagai berikut:
"Sebuah kapal Gujarat dari Hindia Muka datang ke Krueng Ceudaih untuk berniaga. Anak-anak buah kapal itu berada di darat dalam perjalanan ke Gampong Pande. Di tengah perjalanan mereka ditimpa hujan lebat lalu berteduh di bawah sebatang kayu. Melihat daunnya yang rindang, semua mereka dengan sukacita berseru: Aca! Aca! Aca! Artinya indah, indah, indah yang kemudian berubah menjadi Aceh". Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat pohon itu bernama 'bak si aceh-aceh'. Lihat Atjehch Woordenboek, I. 1934, hal. 92.
Abad 8-9
Kesultanan Perlak berdiri.
1100-1250
Berdirinya Kerajaan Aru Sipamutung. Kerajaan Hindu Rajendrasola di Tanah Batak. Peninggalannnya adalah Biara Sipamutung.
Abad ke 10-14 M
Kesultanan Daya, antara tahun 1128-1131 M, dibentuk oleh Laksamana Abdul Kamil dengan dukungan dinasti Fatimiyah dari Mesir yang pemerintahannya sampai ke kesultanan Bandar Kalipah.
Kerajaan Nagur di tanah Batak Simalungun dihancurkan oleh orang-orang Batak Karo yang mendirikan kerajaan Haru Wampu yang berdiri pada tahun 1200-1508 M. Di Bekas kerajan tersebut di tanah Gayo berdiri kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Lingga, Lamuri dan Pasai (1200-1285).
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Batak (Lingga)
1. Raja Lingga I di Gayo punya anak-anak sebagai berikut:
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.
Dinasti Marah Silu (Batak Gayo) di Samudera Pasai sebagai berikut:
1. Sultan Malik al-Saleh (1285-1296) ada yang bilang (1263-1297)
2. Sultan al-Abidin (1297-1320)
3. Sultan Malik al-Tahir (al-Zahir) (1296-1327) (1320-1383)
4. Sultan Zain al-Abidin (1383-1405), pernah diculik dan selama tiga tahun ditawan di Thailand (Siam)
5. Sultan Shaleh al-Din (1405-1412)
6. Ratu Nur Ilahi (1424-1461)
7. Sultan Muzafar Syah (1461-1497)
8. Sultan Ma'ruf Syah (1497-1511)
9. Sultan Abdullah (1511-1524). Lihat: J.I. Moens, "Rijken der Parfum en specerijen", BKI, 1955
Setelah tahun ini, Samudera Pasai mengalami kemunduran. Salah satu keturunan Marah Silu, Syarif Hidayat Fatahillah merantau ke Jawa, menjadi penyebar agama Islam mazhab syafii. Dia merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kesultanan Islam yang pertama tumbuh dalam skala nasional dan sekaligus pelopor mazhab syafii di Nusantara.
Sementara itu, putra Marah Silu yang lain mendirikan Kesultanan Aru Barumun yang berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Sungai Tamiang merupakan tapal batas perbatasan antara Kesultanan Samudera Pssai dengan Kesultanan Aru Barumun.
Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Aru Barumun adalah sebagai berikut:
1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Banten (Sumber: Ismail Muhammad 1978). Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" di Buntet, Cirebon.
1. Syarif Hidayat Fatahillah gelar Susuhunan Gunung Jati (1512)
2. Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan(1552)
3. Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan (1570)
4. Sultan Maulanan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten (1580)
5. Sultan Abdulmafachir Mahmud Abdul Kadir Kanari (1596)
6. Sultan Abdul Ma'ali Ahmad Kenari (1640)
7. Sultan Agung Tirtayasa Abdul Fathi Abdul Fatah (1651)
8. Sultan Haji Abunhasr Abdul Kahhar (1672)
9. Sultan Abdul Fadhal (1687)
10. Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (1690)
11. Sultan Muh. Syifa Zainul Arifin (1733)
12. Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1750)
13. Sultan Muh. Wasi' Zainul Alimin (1752)
14. Sultan Muh. Arif Zainul Asyikin (1753)
15. Sultan Abdul Mafakih Muh Aliyuddin (1773)
16. Sultan Muhyiddin Zainussolihin (1799)
17. Sultan Muh. Ishak Zainul Muttaqin (1801)
18. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1803)
19. Sultan Agiluddin Aliyuddin (1803)
20. Sultan Wakil Pangeran Sura Manggala (1808)
21. Sultan Muhammad Shafiyuddin (1809)
22. Sultan Muhammad Rafiuddin (1813)
Dinasti Marah Silu melalui Hidayat Fatahillah di Kesultanan Cirebon sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa keturunan langsung Gunung Jati, yang sehari-harinya menyebarkan ilmu, mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Cirebon, salah satunya yang masih berdiri sekarang sebuah pesantren "Abah Anom" (Kebumen?) di Cirebon. Garis turunannya juga mendirikan Kesultanan Kanoman, Keluarga Kecirebonan dan Keluarga Keprabonan, selain Kesultanan Kesepuhan di bawah ini:
1. Sultan Hidayat Fatahillah gelar Sunan Gunung Jati (1479-1568)
2. Pangeran Pasarean/P. Muh. Arifin (1528-1552)
3. Pengeran Arya Kemuning Adipati Carbon I (1552-1565)
4. Panembahan Pakungwati I/P Emas Zainul Arifin (1568-1578)
5. Pangeran Dipati Sedanggayam Carbon II )1578-1649)
6. Panembahan Pakungwati (1649-1662)
7. Sultan Sepuh I Syamsuddin (1678-1697)
8. Sultan Sepuh II Jamaluddin (1697-1720)
9. Sultan Sepuh III Jaenuddin (1720-1750)
10. Sultan Sepuh IV Jainuddin Amir Sena (1750-1778)
11. Sultan Sepuh V Sultan Matangaji/P. Syarifuddin (1778-1784)
12. Sultan Sepuh VI P. Hasanuddin (1784-1790)
13. Sultan Sepuh VIIP. Joharuddin (1790-1816)
14. Sultan Sepuh VIIIP. Raja Udaka (1816-1845)
15. Sultan Sepuh IXP. Raja Sulaeman (1845-1880)
16. Sultan Sepuh XP. Raja Atmaja (1880-1899)
17. Sultan Sepuh XI P. Raja Aluda Tjul arifin Moh. Syamsuddin Nataningrat (1899-1942)
18. Sultan Sepuh XII P. Raja Ningrat (1942-1969)
19. Sultan Sepuh XIII P. Raja Adipati Maulana Pakuningrat SH (1969) (Sumber: Unit Pengelola Keraton Kasepuhan Cirebon)
Dikisahkan juga bahwa Kesultanan Lamuri yang didirikan oleh Meurah Johan diserang Majapahit tahun 1365.
Abad 15-16
Abad 15, Munawwar Syah, Sultan yang sedang berkuasa di Lamuri, memindahkan ibukota kerajaannya ke Mahkota Alam dengan alasan persaingan politik dengan Pidie. Kehadiran Lamuri di Mahkota Alam menjadikan 'balance of power' di daerah tersebut menjadi tidak seimbang dengan kerajaan Aceh lainnya yakni Dar al-Kamal yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai.
Lamuri dan Dar al-Kamal menjadi dua kerajaan yang saling bersaing. Hal ini menyebabkan Munawwar Shah untuk berpikir melakukan maneuver politik dengan menawarkan perkawinan politik antara anaknya dengan puteri Sultan Inayah Shah.
Ketika Inayah Shah menerima rencanan tersebut, rombongan Munawwar Shah diam-diam membawa senjata dan menyerang Dar al-Kamal. Munawwar Shah berhasil dan kedua kerajaan ini disatukan kembali menjadi Kesultanan Aceh Dar al-Salam dengan pimpinan Sultan Shams Shah anak dari Munawwar Shah.
Kesultanan ini juga meluas dengan ekspansi ke Kesultanan Samudera Pasai yang telah melemah dihantam Majapahit dan sampai ke daerah Bengkulu melewati Minangkabau.
Walaupun begitu, ada juga yang mengatakan bahwa sebenarnya yang berperan penting dalam pembentukan kesultanan Aceh adalah kesultanan Pidie. Pada waktu itu wilayah kesultanan ini meliputi Aceh Besar. Sultan Ali Mughayat Syah merupakan sultan yang pertama masuk Islam (1507-1522). Dia digantikan oleh puteranya Sultan Salahuddin (1522-1530) yang membina kekuatan Aceh dalam arti yang sesungguhnya. Lihat. Veth, Atchin en Zijne betrekkingen tot Nederland, 1873 hal. 28.
1511 M
Pada tahun 1511, keturunan Raja Lingga di Gayo, Raja Lingga XIII, diangkat menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Kesultanan Aceh atau Amirul Harb, saat mengakuisisi Kesultanan Pasai dan Kesultanan Aru yang sudah dijajah Portugis.
Dalam tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Raja Lingga XIII diamanatkan untuk membangun benteng pertahanan, dengan membangun sebuah pulau di selat Malaka, dari amukan Portugis. Pulau tersebut dikenal dengan pulau Lingga.
Keturunan Lingga, kemudian mendirikan kesultanan Lingga di Gayo, Karo dan daerah Riau dan Kepulauannya.
Satu lagi legende dalam budaya Batak Gayo adalah mengenai Sosok Raja Bukit. Dalam berbagai versi sejarah, keberadaan Raja Bukit ini sangat masyhur namun penuh dengan misteri. Raja Bukit dikisahkan adalah orang yang dapat menaklukkan Gajah Putih. Gajah Putih sendiri dalam budaya Batak Toba merupakan hewan suci dari Raja Uti, Kerajaan Batak Pesisir Katorusan.
Keberadaan Raja Bukit pernah didokumentasikan oleh penulis Barat saat keberadaanya yang mendominasi peta perpolitikan di Kesultanan Barus, Kesultanan Batak di pesisir barat Sumatera Utara.
Dikatakan bahwa ada dua pemimpin yang berasal dari luar Kesultanan Barus yang ikut ambil bagian dalam pertikaian politik di Barus, khususnya dalam melawan monopoli ekonomi VOC, Inggris dan Eropa lainnya. Mereka adalah Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit. Lihat Reber, "Private Trade of The British in West Sumatera 1735-1770" (Ph.D Dissertation, University of Hull, 1977), Appendix XII p. 300-302.
Dalam kisah-kisah Batak diketahui bahwa Raja Bukit ini merupakan tokoh Batak yang sangat berpengaruh pada eranya yang banyak berkecimpung dalam pembangunan masyarakat Batak secara sosial, adat dan ekonomi mulai dari Aceh, Pesisir, Asahan dan lain sebagainya.
Namun, keterangan mengenai siapa sebenarnya Raja Bukit tersebut adalah simpang siur. Orang Gayo percaya bahwa Raja Bukit sebenarnya bernama Saidah dalam versi JCJ Kempess, Sengeda dalam versi Muda Kala dan Junus Djamil.
Kempess mengatakan bahwa Raja Bukit merupakan orang yang datang dari luar Gayo, tepatnya bagian selatan. Ada yang mengatakan dari Tiku, Minang. Alkisah ada tiga orang datang dari daerah tersebut. Seorang di antara mereka bertuah dan diangkat menjadi Raja Lumut. Seorang lagi pindah ke Samarkilang dan ternyata dibunuh oleh Raja di Lingga. Setelah terbongkar pembunuhan tersebut. Sultan Aceh yang saat itu induk kerajaan mini ini, memecat Raja tersebut dan mengangkat seorang yang datang tersebut menjadi Raja Bukit pertama dan seorang lagi menjadi Raja Petiamang. Nama dari Raja Bukit tersebut adalah Saidah.
Kisah lain adalah Sengeda yang masih berasal dari keluarga Lingga. Dan Banyak kisah lain mengenai seluk-beluk Raja Bukit tersebut. Dalam sejarah Batak, khusunya Sisingamangaraja dinyatakan bahwa Raja Bukit yang mashur dalam hubungan diplomasi, ekonomi dan hubungan internasional dalam menggalang dukungan melawan penjajah Eropa adalah Sisingamangaraja VIII alias Ompu Sotaronggal yang dikenal dengan sebutannya Raja Bukit yang hidupnya diperkirakan pada tahun 1700-an.
Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara sendiri didirikan oleh Mahkuta alias Manghuntal dari marga Sinambela, setelah mendapat transfer kedaulatan dari Dinasi Uti (Hatorusan)
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
Keturunan Mahkuta alias Manghuntal lainnya melalui anaknya Si Raja Hita di tanah Karo mendirikan kota Medan.
Dinasti Sisingamangaraja I di Medan.
1. Sisingamangaraja, bernama aseli Mahkuta alias Manghuntal. Lahir di Bakkara, dibesarkan di Istana Raja Uti VII (Pasaribu Hatorusan) di Singkel, menjadi raja Batak di Bakkara paska menumpas pemberontakan memerintah di tahun 1540-1550 M. Mempunyai dua anak, yang pertama adalah Manjolong, menjadi Sisingamangaraja II di Bakkaara dengan gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595 dan yang kedua adalah:
2. Tuan Siraja Hita, Di sana ia memperoleh tiga orang anak. Anak yang nomor dua menjadi raja di Kerajaan Pekan. Yang bungsu menjadi raja di Kerajaan Balige, Toba dan yang tertua bernama Patimpus alias Guru Patimpus.
3. Guru Patimpus, masuk Islam dan pada tanggal 1 Juli 1590, mendirikan kota Medan. Puteranya adalah, (1) Benara, Raja di Benara (2) Kuluhu, Raja di Keluhu (3) Batu, pendiri kerajaan Batu, (4) Salahan, Raja di Salahan (5) Paropa, Raja di Paropa (6) Liang, Raja di Liang Tanah (7) Seorang gadis yang menikah dengan Raja Tangging (Tingging) (8) Janda yang menetap di Aji Jahe (9) Si Gelit (Bagelit), Raja di Kerajaan Karo Islam Sukapiring, daerah antara Medan sampai ke pegunungan Karo (10) Raja Aji, yang menjadi perbapaan Perbaji, (11) Raja Hita yang menjadi raja di Durian Kerajaan, Langkat Hulu (12) Hafidz Tua dengan panggilannya Kolok, tidak menjadi raja tapi ulama dan Hafidz Muda dengan panggilannya Kecik yang menjadi pengganti Guru Patimpus di Kerajaan Medan.
4. Raja Hafidz Muda
5. Raja Muhammadsyah putera Hafidz Muda, makamnya terletak di dekat makam puteranya Masannah, daerah Petisah Medan. Mempunyai tiga putera. Yang pertama adalah Masannah yang dikenal dengan Datuk Saudagar, dia menetap di Pulau Bening dan keturunannya berada di sana. Makamnya di samping makam ayahnya Muhammadsyah yang disebut 'Makam Melintang', anak yang kedua adalah Pangeran Ahmad yang keturunanya menetap di Petisah, Medan dan yang ketiga adalah Raja Mahmud yang menjadi pengganti Raja Muhammadsyah. Saat ini pusat kerajaan yang meliputi 2/3 dari kerajaan Patimpus dipindahkan ke Terjuan. Dia dimakamkan di sana. Raja Muhammadsyah memperlua kerajaan ke kawasan baru yang bernama Kuala Bekala dan Terjun. Kedua daerah ini kemudian disebut Marhom Muhammadsyah Darat.
6. Raja Mahmud putera Muhammadsyah, mempunyai dua putera mahkota. Pertama Pangeran Ali dan yang kedua Pangeran Zainal yang memilih tinggal di Klambir Tunggal dan kuburannya ada di sana.
7. Raja Ali putera Mahmud, memindahkan ibukota ke kawasan Buluh Cina. Kerajaan mulai makmur dengan perdagangan. Penghasilan kerajaan berasal dari ekspor lada besar-besaran ke Penang/Melaka. Mempunyai satu putera mahkota, Banu Hasyim dan satu puteri, Bujang Semba yang menikah dengan Sultan Panglima Mangedar Alam dari Kesultanan Deli. Masuknya pengaruh kekuatan Aceh dan orang-orang melayu yang berciri khas India Dehli. Kesultanan Deli sendiri didirikan oleh Sri Paduka Gocah Pahlawan Laksamana Khoja Bintan.
8. Raja Banu Hasyim putera Ali, menikah dengan puteri Manyak, kakak dari Datuk Sunggal Amar Laut. Dia memperluas kerajaan sampai ke kawasan Kampung Buluh. Mempunyai tiga anak. Pertama adalah Sultan Sri Ahmad, yang kedua adalah Sri Kemala, puteri yang menikah dengan Sultan Osman I dari Kesultanan Deli dan yang ketiga adalah Sri Hanum, seorang puteri yang menikah dengan Pangeran Kesultanan Langkat, Musa.
9. Sultan Sri Ahmad putera Banu Hasyim. Pusat kerajaan di pindahkan ke Pangkalan Buluh. Kerajaan Karo Islam mulai tergeser karena menguatnya Kesultanan Deli yang didukung oleh Imperium Kesultanan Aceh. Sultan pernah menerima tamu bernama John Anderson pada tahun 1823. Kerajaan Islam Karo akhirnya takluk ke Kesultanan Deli dan Sultan akhirnya masuk menjadi pembesar Kesultanan Deli yang bergelar Datuk Panglima Setia Raja Wazir XII-Kota. Pemerintahannya di bawah Kesultanan Deli akhirnya dipindahkan ke Hamparan Perak. Dia meninggal dalam usia 119 tahun
10. Datuk Adil
11. Datuk Gombak
12. Datuk Hafiz Harberhan
13. Datuk Syariful Azas Haberham. Riwayat Hamparan Perak ini pernah disalin ke dalam bahasa Belanda dalam "Nota Over De Landsgrooten van Deli", juga dalam "Begraafplaatsrapport Gementee Medan 1928"
1508
Kerajaan Haru Wampu yang menghancurkan Kerajaan Nagur dikuasasi oleh Kesultanan Aceh pada pemerintahan Sultan Ali Muhayyat Syah. Pada tahun 1853 daerah, yang penduduknya orang-orang Batak Karo, ini dibentuk menjadi Kesultanan Langkat, Kesultanan bawahan Aceh oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah, sultan yang ke-30 Aceh.
1508
Seorang Karo yang menjadi pasukan Aceh bernama Manang Sukka menjadi Sultan Haru Delitua (Kesultanan Delitua/Deli) dengan gelar Sultan Makmun al-Rasyid. Istrinya adalah Putri Hijau, saudari perempuan dari Sultan Ali Muhayyat Syah.
Secara umum, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur Batak datang ke Aceh melalui dua gelombang. Gelombang pertama adalah era pra-Hindu yakni asimilasi Batak-Mante, unsur inti dari Kesultanan Aceh dan gelombang kedua adalah pra-Islam dan paska Hindu-Buddha yakni melalui kerajaan Nagur di tanah Gayo dan Alas, unsur penting dari Kesultanan Samudera Pasai.
1512-1523
Kesultanan Aru Barumun jatuh ke tangan Kesultanan Aceh. Setelah sebelumnya Kesultanan Samudera Pasai dikuasai oleh Laksamana Tuanku Ibrahim Syah, saudara kandung Sultan Ali Muhayyat Syah, sultan di Kesultanan Aceh Dar al-Salam.
1530-1552
Di Bawah pemerintahan Alauddin al-Kahhar (1530-1552) dilakukan pembagain klasifikasi rakyat menurut suku dan asal usulnya.
Orang-orang Mante-Batak asli merupakan sukee lhee reutoih (suku tiga ratus), orang-orang India kaom imeum peuet (kaum imam empat). Sedang para imigran dinamakan kaum tok batee (kaum yang mencukupi batu). Terakhir sekali dibentuklah kaom ja sandang (kaum penyandang).
Para imigran Hindu, yang memang terdiri dari empat kasta, tadinya tergolong dalam kaum empat yang berdiam di tanah Abee, Lam Leuot, Montasiek dan Lam Nga. Mereka akhirnya menganut agama Islam dengan pemimpin kelompok yang bergelar imeum (imam).
1802-1816
Fakhruddin Harahap merebut bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dan memimpin penduduk yang kebanyakan marga Harahap dalam sebuah kerajaan dengan gelar Baginda Soripada. Kerajaan ini tunduk kepada kepemimpinan Kerajaan Pagarruyung.
1805-1819
Sultan Alauddin Johar Syah, sultan yang memimpin di Aceh, mengirim Laksamana Sulaiman Nanggroyi ke Labuhanbilik di Aru Barumun. Angkatan Laut Aceh siaga di sepanjang sungai Barumun beserta pasukar marinir di Kotapinang Lama akibat bangkitnya kekuatan Padri di Minang.
1816-1820
Bagian hulu Kesultanan Aru Barumun dikuasasi oleh Tuanku Tambusai, dengan ibukotanya di Sunggam. Kekuasaan Baginda Soripada dan Pasukan Aceh dihalau. Tuanku Tambusai sendiri adalah marga Harahap.
1819
Fakih Amiruddin (Lontung) memerintah di Tanah Batak selama dua tahun dengan ibukota Siborong-borong.
1867-1884
Pertentangan politik antara Raja-raja Siopat Pusoran di Silindung dengan Sisingamangaraja XII meruncing tajam. Khusunya pertentangan antara Raja Pontas Lumban Tobing dengan Sisingamangaraja XII. Pendeta Nomensen berada di pihak Raja Pontas. Belanda kemudian ikut campur dengan mendukung Nomensen dan Raja Pontas.
Pertentangan antara pihak Siopat Pusoran dengan pihak Sisingamangaraja sudah mengakar dari persaingan monopoli dagang kemenyan. Raja-raja Siopat Pusoran selalu ingin menguasai jalur perdagangan Silindung dari kekuasaan Sisingamangaraja.
Raja-raja Siopat Pusoran juga yang tidak setuju atas pengangkatan Sisingamangaraja XI, pengganti ayahnya yang tewas dalam perang dengan pihak Fakih Amiruddin beserta pasukan Padrinya. Bagi mereka, keturunan Sisingamangaraja (XI-XII) tidak diakui.
1873-1907
Sebuah 'master plan' perang gerilya antara Belanda melawan pasukan gabungan Aceh-Batak, dibuat antara Sisingamangaraja XI dengan Teku Nangta Sati, panglima Aceh digariskan sebagai berikut:
1. Sultan Ali Muhammad Syah, melakukan perlawanan dari Aceh. Dia kemudian meninggalkan istana di Kutaraja yang terbakar oleh artileri Belanda dan mati syahid dalam gerilyan di hutan Tanung
2. Teku Lamnga, menantu dari Teku Nangta Sati, menggempur posisi Belanda. Dia kemudian gugur dalam tugas ini.
3. Teku Umar, menantu dari Teku Nangta Sati, pasukan bertahan dan akhirnya gugur sebagai pahlawan
4. Sisingamangaraja XII, putera Sisingamangaraja XI yang meninggal karena kolera, bertahan di tanah Batak dan akhirnya gugur juga.
1820-1947
Berdirinya Kerajaan Kotapinang di bagian hilir Kesultanan Aru Barumun yang didirikan oleh Alamsyah Dasopang, salah satu panglima Padri.
Zulkarnaen Aritonang menjadi Yangdipertuan Raja Merbau. Zulkarnaen sendiri merupakan mantan pasukan Padri.
Tuanku Asahan alias Mansur Marpaung menjadi Sultan di Kesultanan Asahan paska dominasi Aceh.
Mengenai nama Mante di silsilah marga Batak terdapat sebuah marga yang komunitasnya sekarang banyak bermukim di beberapa daerah Aceh dan khususnya daerah perbatasan dengan Sumatera Utara. Nama marga itu adalah Munte.
Klan orang Gayo yang dominan adalah Lingga, Munte, Cebero, Tebe (Toba) dan Melala. Sementara Kejurun di Gayo adalah Kejurun Bukit yang dipimpin keturunan Raja Bukit, Kejurun Cik Bebesen yang berisi keturunan kisah Batak 27, Kejurun Lingga yang dipimpin oleh keturunan Raja Lingga dll.
loading...
No comments:
Post a Comment