Our Blog

Investasi Hulu Migas di Indonesia Terus Meningkat

Di tengah kekhawatiran akan kebijakan baru Presiden AS Donald Trump, kegiatan investasi di hulu migas yang sempat menurun dalam dua tahun terakhir kembali meningkat 3 persen menjadi US$ 450 miliar tahun ini. Harga minyak mentah diperkirakan sedikit terangkat dengan break even pada harga US$ 45 per barel. Tahun ini, harga minyak mentah Brent diperkirakan mencapai rata-rata US$ 57 per barel, naik 30 persen dari US$ 44 per barel pada 2016.

"Kegiatan perusahaan migas di hulu mulai meningkat kembali tahun ini. Sedangkan harga minyak mentah, kendati meningkat, tidak akan mengalami lonjakan berarti," ungkap Andrew Harwood, analis minyak dan gas dari Wood Mackenzie pada sebuah diskusi dengan pers Indonesia di Singapura, Senin (23/1).

Merespons permintaan minyak mentah yang kembali meningkat, perusahaan hulu migas akan menaikkan produksi, termasuk Amerika Serikat di bawah pemerintahan baru. Lonjakan harga yang besar tidak akan terjadi karena penambahan pasokan akan menekan harga.

Meski naik 3 persen, kata Andrew, total investasi hulu migas tahun ini masih lebih rendah 40 persen dibanding 2014. Berbeda dengan masa sebelumnya, perusahaan migas kini beralih dari proyek migas yang besar dan kompleks ke proyek yang lebih kecil dengan tingkat pengembalian modal lebih cepat.

“Efisiensi menjadi perhatian utama dengan memanfaatkan teknologi mutakhir,” ujarnya.

Kegiatan investasi di hulu migas, kata Andrew, sangat tergantung pada regulasi sebuah negara. Para investor umumnya membandingkan prospek investasi dan kebijakan fiskal hulu migas di satu negara dengan negara lain. Ada negara yang bagus prospeknya, tetapi kurang bagus kebijakan fiskalnya. Ada negara yang bagus kedua-duanya, namun ada pula yang kurang bagus kedua-duanya.

Investasi hulu migas di Indonesia, demikian Andrew, dinilai cukup prospektif dan kebijakan fiskal cukup memberikan insentif. Sedangkan Malaysia dinilai lebih prospektif dari Indonesia. Tetapi, kebijakan fiskalnya kalah menarik dibanding Indonesia. Malaysia tidak memberikan insentif sebesar Indonesia.

Menurut Wood Mackenzie, Brasil dan Meksiko memiliki prospek yang bagus, tetapi kebijakan fiskalnya kurang mendukung. Sementara Norwegia, Mozambik, dan Nigeria, lebih bagus dari Indonesia dalam insentif fiskal dan prospek investasi.

Penilaian Wood Mackenzie sudah mempertimbangkan kebijakan gross split yang mulai diterapkan pemerintah. Meski belum ada investor asing yang memanfaatkannya, skema bagi hasil dalam gross split dinilai cukup menarik. Hingga hari ini, baru Blok Offshore North-West Java, Pertamina, yang memanfaatkan kebijakan baru ini. Skema pembagian gross split diberlakukan bagi perusahaan baru. Sedang perusahaan yang sedang berjalan tetap mengacu peraturan lama yang berbasis cost recovery.

Vice President External Relations SKK Migas, Taslim Z Yunus menjelaskan pihaknya belum bisa menilai efektivitas regulasi baru yang diterapkan lewat Peraturan Menteri ESDM itu.

"Kebijakannya kan masih baru. Investor masih mempelajari," ujarnya.

Kalangan pelaku bisnis hulu migas yang hadir dalam diskusi optimistis investasi di hulu migas di Indonesia mulai meningkat tahun ini. Vice President Development and Relations Conoco Phillips, Joang Laksanto mengatakan, gairah investasi migas tahun ini lebih disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah, bukan karena kebijakan pemerintah yang belum teruji.

Dalam menghitung bagi hasil gross split, komponen yang diperhitungkan adalah cadangan migas, biaya investasi, dan harga. "Mestinya perhitungan ini diserahkan saja pada investor. Tetapi, pengelolaan migas di hulu masih tunduk pada UU Migas," ungkapnya.

Investasi di hulu migas di Indonesia, demikian Joang, cukup berat. Karena success ratio di bawah 10 persen, jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 30 persen. Ketika melakukan eksplorasi, biaya besar sudah harus dikeluarkan investor untuk sebuah keberhasilan di bawah 10 persen.

Seperti diketahui, mulai Januari 2017, pemerintah mengubah skema kontrak bagi hasil (PSC) pada kontrak-kontrak baru migas. Jika yang digunakan sebelumnya adalah skema biaya yang dapat dikembalikan (cost recovery), maka yang diterapkan dalam aturan baru adalah skema gross split. Ketentuan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan penerapan skema gross split atau bagi hasil kotor dalam kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) migas tidak akan merugikan negara. Skema ini justru membuat negara terhindar dari potensi membengkaknya biaya proyek migas, sehingga penerimaan negara yang diperoleh dari sektor migas lebih pasti dan terjamin.

Arcandra menegaskan investor yang merasa split yang diperolehnya masih kurang, dapat menyampaikannya kepada pemerintah. Bagi hasil setelah memasukkan variable split dan progressive split masih terbuka untuk diubah. “Kalau dari komersial, ada ruang untuk negosiasi kurang lebih 5 persen,” tuturnya

Hal itu, kata Arcandra, sesuai Pasal 7 Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang menjadi dasar penerapan gross split. Dalam beleid ini disebutkan, ketika perhitungan komersialisasi lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu, kontraktor mendapat tambahan split maksimal 5 persen.

“Sebaliknya, dalam perhitungan komersialisasi lapangan melebihi keekonomian tertentu, negara boleh mengambil tambahan split 5 persen,” tuturnya.

Kurang Menarik
Sementara itu, investor menilai skema gross split yang ditawarkan pemerintah masih kurang menarik. Investor menginginkan, meski skema kontrak berganti menjadi gross split, bagi hasil yang diterima minimal sama dengan ketika memakai skema cost recovery. Investor juga meminta ada tambahan insentif untuk eksplorasi. Selain itu, terdapat ketidakpastian terkait pelaksanaan kemudahan proses bisnis yang dijanjikan pemerintah.

Chief Executive Officer (CEO) & President PT Ephindo, Sammy Hamzah mengatakan investor migas nonkonvensional mengusulkan penerapan skema gross split dalam kontrak migas agar proyek lebih menarik.

Karena itu, kata Sammy, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pemerintah yang kemudian menerbitkan peraturan menteri soal gross split. Apalagi Permen 38/2015 tentang Percepatan Pengusahaan Migas Nonkonvensional yang memungkinkan kontrak migas nonkonvensional menggunakan skema gross split, tak kunjung dapat diterapkan.

Namun, menurut dia, ada beberapa hal yang harus dipastikan agar skema gross split menarik bagi investor. “Kami ingin tekankan bahwa bagi investor existing, tolok ukurnya adalah pemerintah harus menawarkan yang lebih baik. Kalau tidak, mereka tidak akan ambil. Ini soal keekonomian saja yang harus dibicarakan. Ini memang baru akan terbukti seiring dengan berjalannya waktu,” paparnya.

Hal lain yang harus dipastikan, kata Sammy Hamzah, adalah peran Satuan Kerja Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam mengelola kontrak dengan skema gross split. Investor ingin memastikan apakah benar proses bisnis akan lebih simpel dan waktu yang dibutuhkan sampai tahap produksi bakal lebih pendek.

Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari juga mengkritisi skema gross split. Beberapa insentif split yang ditawarkan pemerintah selalu dianggap linier dengan skala proyek. “Padahal, bisa jadi kenyataannya berbeda, seperti biaya investasi untuk blok kedalaman lima meter bisa jadi lebih besar dari yang memiliki kedalaman 50 meter,” tuturnya.

Dia menambahkan, ada beberapa insentif split yang justru menimbulkan ketidakpastian hitungan keekonomian, yakni harga minyak. “Split akan berubah karena harga minyak nasional (ICP) ditinjau setiap bulan. Bagaimana bisa komersial kalau berubah tiap bulan? Apakah akan terus beroperasi atau tidak, ini harus dipikirkan,” kata Rovicky.

Perbaiki Kebijakan Fiskal
Dihubungi terpisah, Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Christina Verchere berharap pemerintah memperkuat skema fiskal dalam kontrak migas yang ditawarkan kepada perusahaan migas. Hal ini guna memastikan investasi migas di Indonesia kembali bergairah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

IPA menyatakan, di masa lalu, sektor energi merupakan penyumbang terbesar penerimaan bagi Indonesia. Ke depan, Indonesia perlu memastikan agar sektor ini dipertahankan agar menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.

Seperti apa skema fiskal ini, Christina enggan memaparkan. Menurutnya, skema fiskal bisnis migas di setiap negara merupakan wewenang pemerintah negara masing-masing. Apalagi, skema fiskal ini disusun dengan mengikuti regulasi yang berlaku dan kondisi sumber daya migas di setiap negara.

“Kami menyarankan untuk dicarikan skema fiskal yang dapat menarik investor ke Indonesia, skema yang lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun depan, kami menunggu perubahan yang meningkatkan iklim investasi,” tuturnya.

Direktur IPA Tenny Wibowo menambahkan dengan menurunnya harga minyak yang sangat drastis dalam dua tahun ini, ukuran cadangan migas yang dapat dikembangkan secara ekonomis menjadi terbatas. Hal ini mengingat penerimaan seluruh perusahaan migas di dunia terpangkas, sehingga dana yang tersedia untuk investasi juga berkurang.

“Ini harus jadi perhatian. Kalau iklim investasi kurang bagus, saya khawatir nantinya berkurang (dana) yang ditanamkan di Indonesia,” katanya.

Menurut Christina, hal lain yang dibutuhkan investor adalah kepastian. Bisnis migas membutuhkan modal besar. Tak hanya itu, bisnis ini menghadapi ketidakpastian. Itu sebabnya, untuk mengurangi risiko, dibutuhkan kepastian regulasi yang bisa dijadikan dasar dalam hitungan keekonomian proyek.

Christina melanjutkan, IPA mengapresiasi langkah pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi migas. Sepanjang tahun ini, IPA dan pemerintah menjalin komunikasi yang intens guna membahas sejumlah masalah dan regulasi guna mempermudah bisnis migas di Indonesia. IPA juga diajak membahas penerapan kontrak dengan skema gross split pada migas konvensional.

“Gross split memang akan menyederhanakan proses bisnis. Tetapi apa yang dicari investor adalah sistem regulasi yang dapat diprediksi dan skema fiskal yang menarik. Skema fiskal ini sama pentingnya dengan simplifikasi proses bisnis,” jelas Christina.

Ke depan, lanjutnya, IPA akan terus berkomunikasi dengan pemerintah. IPA akan membahas beberapa regulasi baru, termasuk beleid yang mewajibkan perusahaan migas melepas sebesar 10% hak partisipasinya ke pemerintah daerah.

Berdasarkan data SKK Migas, investasi migas di Indonesia terus meningkat selama 2010-2013. Pada 2010, investasi migas tercatat sekitar US$ 11 miliar. Angka ini kemudian naik menjadi US$ 14 miliar pada 2011, US$ 17 miliar pada 2012, dan mencapai US$ 18 miliar pada 2013.

Periode setalah itu, investasi migas langsung terpangkas begitu harga minyak mulai turun pada akhir 2014. Pada 2014, investasi migas tercatat masih di kisaran US$ 18 miliar. Namun pada tahun lalu, investasi migas terpangkas signifikan menjadi sekitar US$ 14 miliar. Sementara pada tahun ini, realisasi investasi migas diprediksi hanya mencapai US$ 11,4 miliar.  (sumber)
loading...

BARUS HULU Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.